Budaya

Senin, 14 Juni 2021 | 11:40

Prosesi Mangallun di Mamasa

DENTUMAN gong menyambut kedatangan kami di rumah duka Paloli Pawa, warga Desa Sapakuang, Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat yang mangkat pada 13 November tahun lalu.

Di sana, kami duduk melingkar di hadapan peti mendiang Paloli yang khas suku Mamasa. Panjang peti sekitar 2 meter. Peti dari kayu tersebut dibuat menyerupai rumah adat Mamasa, persegi panjang dengan ditutupi atap yang lancip di dua sisinya. Terdapat ukiran kepala naga pada salah satu sisi tersebut, melambangkan kejayaan suku di pegunungan Sulawesi Barat tersebut.

Adapun badan peti dibalut kain bercorak merah dan hitam, khas suku Mamasa yang konon sudah jarang dijumpai saat ini. Foto mendiang Paloli yang meninggal di usia 80 tahun bersandar di sisi peti yang tampak gagah dengan setelan jas hitam. Di sana terdapat pula istri Paloli Pawa dan saudara perempuannya duduk dengan pakaian serba hitam dipadu penutup kepala yang disebut pote'.

 


Istri mendiang Paloli dan saudara perempuannya sebagai penjaga 

Konon mereka yang kerap disebut sebagai penjaga tak dibolehkan meninggalkan ruangan tersebut sebelum jenazah dikebumikan. Istri mendiang Paloli dan saudaranya juga harus menjalani ritual mero' atau puasa makan nasi selama jenazah masih disemayamkan di rumah duka. "Itu sebagai wujud kedukaan," kata Deni Pawa anak ke 5 almarhum pada Senin 7 Juni 2021.

Kami datang dalam prosesi adat Mamasa yang disebut Mangallung, yakni prosesi persemayaman jenazah di rumah duka sebelum dikebumikan. Menurut adat setempat, jenazah baru bisa dikebumikan minimal 6 bulan hingga setahun dalam sebuah acara bernama Rambu Solo, upacara pemakaman yang mirip dengan daerah tetangganya yakni Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Selama di rumah tersebut, jenazah masih dianggap "hidup". Bahkan dijamu makanan kesukaannya setiap jam makan seperti nasi yang lengkap dengan lauknya. Pada waktu tertentu, empat buah gong digebuk oleh sang penjaga. Konon itu sebagai simbol penghiburan bagi jenazah. "Tidak sembarang yang membunyikan gong itu. Hanya orang-orang tertentu saja," kata Yenny Langitiboyong Buntuarruan, menantu almarhum.

Rumah yang sedang menjalani prosesi Mangallung juga cukup mencolok karena terdapat gendang di pekarangannya. Ukuran maupun bentuk gendang disesuaikan dengan strata pihak yang berduka. Sedangkan rumah duka juga terus ramai oleh pelayat. "Setiap malam rumah kami ramai dikunjungi sanak famili dan kerabat," ujar Jhon Richardes, kerabat terdekat almarhum menceritakan. Para pelayat yang sebagian besar adalah warga Desa Sapakuang, lanjut Jhon, juga memberi penghormatan kepada pihak berduka dengan tidak menggelar acara pesta pernikahan secara meriah.

Mewahnya Rambu Solo

Almarhum Paloli Pawa lahir pada 3 November 1940 dan meninggal dunia pada 13 November 2020. Sesuai ketentuan adat, upacara pemakaman Rambu Solo bakal dilakukan minimal 6 bulan hingga setahun berada di rumah duka. Olehnya itu, pihak keluarga mendiang Paloli hendak menggelar upacara tersebut pada November 2021.

Rambu Solo merupakan upacara pemakaman adat yang berisi pesta penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Dalam jurnal Makna Biaya Dalam Upacara Rambu Solo, Tumirin dan Ahim Abdurahim menjelaskan upacara ini terdiri dari tiga asal kata yakni aluk rambu solo, yaitu aluk (keyakinan), rambu (asap atau sinar), dan turun. Dengan demikian, aluk rambu solo’ dapat diartikan sebagai upacara yang dilaksanakan pada waktu sinar matahari mulai turun (terbenam). Adapun secara harafiah berarti asap yang arahnya ke bawah yang artinya ritus-ritus persembahan (asap) untuk orang mati yang dilaksanakan sesudah pukul 12 ketika matahari mulai bergerak menurun.

Upacara Rambu solo sudah dimulai kira-kira abat ke-9 masehi dan dilaksanakan turun-temurun sampai saat ini. Upacara kematian ini menelan biaya yang sangat mahal. Sebab kerbau dan babi yang dikorbankan bisa mencapai ratusan ekor. Salah satunya Kerbau Belang (tedong bonga) yaitu sejenis kerbau lumpur dengan warna kulit belang hitam dan putih. Kerbau istimewa ini juga dihargai tiga puluh sampai lima pu[1]luh kali lebih tinggi dari harga kerbau biasa.

Muhammad Azhari

Koreksi:
Sebelumnya prosesi persemayaman dalam tulisan disebut Mangallung, yang benar Mangallun



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas