Wawancara Khusus

Jumat, 12 Juni 2020 | 15:21

Adzima Nurul Fatimah/ Sumber foto: youtube- Raeesone Cowong

KENANGAN tentang Pulau Natuna, Riau, begitu membekas di benak Adzima Nurul Fatimah, 20 tahun. Selama 14 hari, mahasiswi Hubei Minzu University asal Mamuju, Sulawesi Barat itu harus “dikurung” di perbatasan Indonesia dan Vietnam tersebut. Ia dikarantina setelah dievakuasi dari Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok, kota asal munculnya virus Corona (COVID-19) pada 2 Februari 2020. “Hari pertama, kedua, dan ketiga kami masih menghitung hari. Tapi lama-kelamaan malah tidak mau pulang, hehehe,” kata Adzima saat berbincang dengan Sulbarkita.com, Rabu, 18 Maret 2020. Berikut sebagian petikan wawancaranya.

Sudah sejak kapan kamu kuliah di Tiongkok?
Seusai lulus dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Mamuju pada 2018, saya mencari beasiswa ke luar negeri. Saya lalu mendapat informasi dari teman soal lembaga yang didirikan Pak Dahlan Iskan (eks Menteri BUMN) bernama Tionghoa Culture Centre (ITC Centre) yang membuka beasiswa ke Tiongkok. Alhamudulillah saya lulus serangkaian ujian dan diberangkatkan sekitar Desember 2018. Di sana saya tinggal di asrama kampus di Enshi, sejenis kabupaten di Hubei. Naik kereta api dari Enshi ke Wuhan itu sekitar tiga jam.

Info soal virus Corona muncul di akhir 2019. Kamu sendiri dapat info sejak kapan?
Awal Januari kami libur musim dingin. Nah, pertengahan Januari ada info soal penyakit baru yang mulanya disebut pneumonia Wuhan. Awalnya kami pikir itu penyakit biasa. Eh, 20 Januari 2020 kami dapat info dari KBRI dan kampus, bahwa Hubei di-lockdown karena virus Corona. Kami semua kaget. Sejak itu tidak satu pun kendaran umum beroperasi. Kami hanya boleh ke luar kampus seminggu sekali dan paling lama dua jam. Karena kondisi itu kampus yang memasok makanan untuk kami.

Banyak info cukup ngeri yang beredar. Apa saja informasi yang kamu dapat terkait Corona saat itu?
Di asrama tidak ada televisi, jadi kami hanya mendapat informasi dari grup besar kampus. Informasinya kebanyakan sifatnya edukasi. Misalnya cuci tangan, jaga kebersihan, dan mempercayakan penanganan virus Corona kepada petugas medis. Informasi yang mengerikan justru kami dapat dari media sosial, khususnya dari akun teman-teman di Indonesia. Misalnya ada orang mendadak kejang dan jatuh di jalan, dan macam-macam. Saya sempat tertekan dengan itu, dan semakin panik setelah diisolasi dalam kampus.

Sejak 30 Januari 2020 Presiden Jokowi perintahkan evakuasi WNI di Wuhan. Kamu langsung dapat info saat itu juga?
Info soal evakuasi ke Indonesia kami dapat dari pengurus ranting Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Enshi. Pada 1 Februari 2020 kami dijemput mobil KBRI untuk dibawa ke Wuhan yang menjadi pusat kumpul jelang evakuasi. Total yang berkumpul di sana 238 orang. Selama perjalanan kami sekitar lima kali berhenti untuk menjalani tes kesehatan. Di Wuhan, saya tidak melihat satu pun kendaraan umum melintas. Aktivitas masyarakat juga tidak ada. Bisa dibilang seperti kota mati.

BACA JUGA:
WAWANCARA KHUSUS MAHASISWA TIONGKOK ASAL SULBAR I: Saya Sempat Takut Tidak Diterima Warga

Ketika pulang ke Sulbar apakah ada yang takut mendekat?
Di Sulbar alhamdulilah aman, tidak ada yang menjauh karena takut. Paling dijadikan candaan oleh orang-orang. Saya juga tidak bisa banyak berinteraksi di sana karena setelah tiba 17 Februari lalu, langsung sibuk kuliah online. Menjelang weekend saya baru bisa main ke MAN 1 Mamuju untuk bertemu guru dan adik kelas. Kalau tidak ke sana ya ke PMI, karena dulu saya anggotanya.

Kapan balik ke kampus lagi?
Belum ada info dari pihak kampus soal ini. Saya juga sedang memikirkan opsi kuliah di Makassar karena orang tua takut pandemi ini masih berlanjut. Tapi yang pasti kalau virus ini tidak ada lagi, saya akan kembali ke sana.

TRI S

 



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas