Wawancara Khusus

Senin, 09 Desember 2019 | 19:23

Ridwan Alimuddin/ Sumber: Ridwan

Kapal kuno Padewakang kini tengah mengarungi samudra menuju ke Australia. Ekspedisi kapal yang bernama Nur Al Marege itu seolah mengembalikan cerita 600 tahun silam, ketika pelaut Sulawesi kerap pulang pergi Australia mencari teripang.

Bagaimana persiapan hingga akhirnya Perahu Padewakang kembali mengarungi lautan lepas? Sulbarkita.com berkesempatan mewawancarai Ridwan Alimuddin, jurnalis sekaligus peneliti maritim yang ikut dalam ekspedisi tersebut pada Senin 2 Desember 2019. Berikut kutipan wawancaranya.

Bagaimana anda bersama tim merencanakan ekspedisi Kapal Padewakang ini?
Sebenarnya ini bermula sekitar Maret 2019, kami dihubungi oleh sebuah komunitas bernama Abu Hanifa Institute. Mereka ini adalah keturunan Timur Tengah yang menjadi komunitas muslim di Australia. Nah, mereka ini ingin memberi sumbangsih dalam perayaan 250 tahun ekspedisi James Cook (Seorang penjelajah dan navigator Inggris) yang akan dihelat di Australia tahun depan. Nah, sejumlah literatur menyebutkan 70 tahun sebelum James Cook tiba di Australia, pelaut-pelaut dari Bugis Makassar sudah berada di sana untuk mencari teripang. Mereka ini pelaut-pelaut yang juga muslim dan ikut menyebarkan Islam di Australia. Abu Hanifa ingin kembali merefleksikan peristiwa tersebut.

Berarti ada misi keagamaan juga di sini ya?
Jadi sejak merebak isu terorisme, muncul fobia terhadap Islam di sana. Muslim terkesan menjadi warga kelas dua. Nah, melalui momentum ini Abu Hanifa hendak menunjukkan bahwa Islam itu bukan pendatang baru di Australia, mereka sudah masuk ke sana sejak ratusan tahun lalu. Jadi mereka ingin agar Islam jangan dilihat secara negatif. Misi keagamaannya di situ. Tapi kalau kami tujuannya lebih pada merekonstruksi kembali budaya masa lampau.

Ada literatur yang mendukung klaim Abu Hanifa tersebut?
Terdapat sejumlah literatur menyebutkan orang Aborigin (suku asli Aussy) sangat mencintai orang Bugis Makassar. Penelitian lainnya juga menyebutkan ada sekitar 200 suku kata orang Aborigin di wilayah utara Australia itu diadopsi dari bahasa Makassar. Hal itu karena pelaut ini datang sebagai pedagang dan pencari ikan. Cukup kontras dengan Eropa yang datang bermaksud untuk menjajah. Nah, para pelaut Sulawesi ini datang sejak abad ke 15 dengan menggunakan Padewakang. Artinya kapal ini jauh lebih lama dari Perahu Pinisi. 

Bagaimana pihak Abu Hanifa bisa sampai menghubungi anda?
Semua bermula dari Pameran Kingdom of The Sea Archipelago di Belgia pada 2017. Saya bersama sejumlah rekan untuk pertama kalinya membuat dan menghadirkan Perahu Padewakang di sana. Mereka (pihak Abu Hanifa) mendapat informasi terkait hal itu dan tertarik untuk menampilkannya di perayaan 250 tahun ekspedisi James Cook. Nah, mereka mencari tahu kontak person kami dan menemukannya di Museum Darwin. Kebetulan di museum itu juga punya satu koleksi Perahu Padewakang yang pernah menjalani ekspedisi dari Makassar ke Australia pada 1987. Nah, pihak museum kemudian menghubungi kami.

Lantas, bagaimana tim anda membuat kapal ini dan biayanya dari mana saja?
Anggaran pembuatan kapal lebih dari Rp 400 juta berasal dari Abu Hanifa. Biaya ekspedisinya juga dari mereka. Tidak ada dana dari pemerintah (Pemkab) kendati kami tetap melibatkannya. Kapal ini dibuat di Tana Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pembuatannya berdasarkan foto dan maket Padewakang yang kami peroleh dari museum di Belanda. Kebetulan kami juga pernah membuat yang sama untuk pameran di Belgia jadi sudah ada pengalaman. Ukuran kapal ini sekitar 14,5 x 4,2 meter. Ini juga sesuai dengan panjang aslinya berdasarkan sejumlah literatur. 

Bagian yang paling sulit dibuat di mananya?
Layarnya yang paling sulit karena menggunakan bahan-bahan kuno yang sudah tidak digunakan lagi. Layar ini berasal dari pohon gebang, sejenis pohon lontar yang ditenun kemudian dijahit. Dibuat oleh pengrajin di Kampung Lanu, Campalagian, Polewali Mandar. Dari zaman dulu kampung ini terkenal membuat layar perahu. 

Untuk membuat layar itu berapa orang dan bagaimana prosesnya?
Jadi terdapat dua layar di Padewakang, satu lebarnya sekitar 12 meter dan tingginya sekitar 6 meter. Satu lainnya lebih kecil, lebarnya hampir 3 meter, panjangnya 6 meter. Sementara hasil tenun satu lembarnya sama dengan sarung yaitu sekitar 70 centimeter kali 5 meter. Nah, total 42 lembar dibuat oleh pengrajin dengan harga Rp 14 juta. Pengrajinnya perempuan sebanyak 6 orang. Sementara yang mengambil bahannya laki-laki. Total semuanya sekitar 10 orang. Proses pengerjaannya selama dua bulan. 

Bagaimana anda mengumpulkan tim dan siapa saja mereka?
Kami sebanyak 12 orang. Ada nelayan yang dari Makassar, dari Nusa Tenggara Timur, dari Mandar, Sulbar, dan alumni Korpala (Korps Pencinta Alam) Unhas. Yang dari Korpala pernah melakukan ekspedisi menggunakan Sandeq ke Australia. Yang lain juga dipilih karena pernah menggunakan kapal dengan layar yang sama dengan Padewakang saat masih remaja. Jadi kami casting mereka dulu untuk mengetahui itu. 

Kapal ini tanpa mesin. Bagaimana rute dan target anda sampai ke Australia?
Jadi kami ingin menapak tilas bagaimana pelaut dari Sulawesi ini mencapai Australia mencari teripang. Olehnya itu, kami berangkat di waktu yang sama dengan mereka yakni musim barat pada Desember di mana angin mendorong perahu ke timur. Rute yang dilewati para pelaut ini juga kami gunakan yakni dari Makassar, ke Selayar, kemudian terus ke Utara Maumere, NTT, kemudian ke Pulau Wetar, Maluku, kemudian ke Pulau Moa, Ambon atau Saumlaki. Nah, dari sana mengarah ke selatan Australia yang jaraknya bila di darat sekitar 350 km. Salah satu awak kami pernah naik Perahu Sandeq dari Saumlaki selama tiga hari. Jadi total target kami sampai ke Australia itu 1 bulan.

Tapi tentu anda perlu realistis juga supaya bisa sampai sesuai target. Apa langkah anda?
Misalnya pada layar. Ini kan layar kuno dan sejumlah catatan menyebutkan bahannya tidak tahan lama. Sementara bila robek kami akan kesulitan untuk menyulamnya lagi. Jadi kami bawa layar cadangan dari plastik. Layar plastik itu kami pasang pada rute-rute yang berat di perjalanan. Kami juga menyewa kapal pengantar yang panjangnya mencapai 20 meter dengan harga Rp 90 juta. Mereka akan mengantar kami sampai perbatasan Indonesia-Australia.

Nanti pulangnya pakai kapal ini lagi?
Perahu ini one way saja. Nanti akan disimpan di sebuah museum di Sydney. 

TRI S




 










Komentar Untuk Berita Ini (1)

  • M.ikhsan welly Selasa, 10 Desember 2019

    Alhamdulillah Mandar tidak sekedar dikatakan pelaut ulung yg selama ini didebgung2 kan fakta bahwa akhir tahun ini Lopi Padewakang berlabu di Australia yg tentunya kami bangga dgn saudara kami Alimuddin by Takkalai dhI sobalang dothai leleruppu' darhi n

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas