Tokoh

Minggu, 24 Desember 2017 | 09:31

Victor Matanggaran berpose di depan kampus University of Twente, Belanda// Sulbarkita.com

Mamuju--Victor Matanggaran, 25 tahun, kini sudah bisa bernafas lega. Sebab pendidikan pascasarjana yang ditempuhnya di University of Twente, Belanda, telah memasuki tahap akhir. Ia bersiap pulang ke Tanah Air sekitar pertengahan Januari 2018.“Saya tinggal proses legalisasi dokumen baru pulang,” kata Matanggaran saat dihubungi Sulbarkita.com Jumat 22 Desember.

Rindu Matanggaran pada Tanah Air sudah cukup tebal. Apalagi sudah setahun terakhir, dia harus  bertahan menempuh pendidikan di Negeri Kincir Angin, negeri nun jauh dari tempat lahirnya, “Saya sudah rindu makan bau peapi,” katanya.

Bau peapi adalah sop ikan tongkol yang dibaluri asam mangga. Itu adalah kuliner khas suku Mandar di Sulawesi Barat. Masakan ini akrab di lidah Matanggaran karena berasal dari provinsi hasil pemekaran Sulawesi Selatan tersebut. Bau peapi juga salah satu masakan idola Matanggaran.

Namun di balik kerinduan tersebut, Matanggaran melewati perjuangan yang cukup panjang untuk mencapai cita-catanya kuliah di Belanda. Matanggaran berasal dari Desa Lekbeng, Kalukku, sekitar 45 menit dari Mamuju. Di desa ini, Matanggaran tak bisa berharap banyak soal kualitas pendidikan karena memang wilayahnya yang masih terpencil, “Jaringan internet juga masih susah,” kata dia.

Matanggaran juga tak mungkin menuntut akses pendidikan yang lebih dari Yusuf dan Nina Sartika, kedua orang tuannya. Sebab penghasilan mereka sebagai petani di sawah tadah hujan juga pas-pasan. Beruntung anak semata wayangnya itu tak senasib dengan anak lainnya yang putus sekolah karena biaya.

Kondisi yang serba terbatas tak mematahkan semangat Matanggaran untuk giat belajar. Maklum, dia memang kutu buku dan senang melahap informasi di media massa. Gayung pun bersambut, Matanggaran akhirnya mendapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Negeri Makassar pada 2011.

Matanggaran memilih ilmu psikologi sebagai bidang studi yang ingin ditekuninya di sana. Bidang ini menjadi pilihan karena terinspirasi oleh berbagai buku dan film yang menampilkan praktek-praktek ilmu psikologi. Matanggaran ingin ahli di bidang tersebut.

Kendati demikian, sebagian keluarga Matanggaran menentang keinginannya tersebut. Maklum saja, adagium soal dokter, pegawai negeri, serta polisi adalah profesi dengan kasta tertinggi masih cukup kuat di desanya, “Saya tidak percaya hal itu makanya saya tutup telinga,” kata dia.

Matanggaran lantas berusaha terus meraih prestasi di Ilmu Psikologi. Kerja kerasnya pun terbayar saat menjuarai debat psikologi nasional yang digelar Kementerian Pendidikan di Universitas Negeri Malang pada 2014. Dari sana lah Matanggaran terus merajut mimpi untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi. “Pendidikan membuka mata saya melihat banyak peluang.”

Setelah lulus dari UNM dengan predikat cum laude, Matanggaran berhasil meraih beasiswa pertukaran pelajar ke Australia. Di Negeri Kangguru tersebut dia mengikuti perkuliahan di salah satu kampus selama kurang lebih lima bulan.

Keberhasilan itu membuat Matanggaran pede mencari peluang untuk kuliah pascasarjana ke belahan dunia lainnya. Sejumlah organisasi dia masuki. Pun bergaul dengan para alumnus luar negeri untuk mencari informasi, “ Harus selalu menumbuhkan keberanian dan tidak peduli siapa kita. Intinya harus berani,” ujarnya.

Kesempatan pun kembali datang ketika Matanggaran berhasil meraih beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari pemerintah pertengahan 2016.  Ia memilih University of Twente, Belanda untuk melanjutkan pascasarjananya. Di kampus tersebut, Matanggaran memperdalam ilmu psikologinya dengan mengambil jurusan psikologi konflik, risiko, dan keamanan. Bidang ini menjadi pilihan karena Matanggaran ingin masuk dalam dunia psikologi forensik, disiplin ilmu yang mempelajari perilaku kriminal dan memciptakan mitigasinya.

Kendati tergolong disiplin ilmu yang langka, Matanggaran yakin akan mudah mendapatkan pekerjaan di Tanah Air. Sebab psikologi forensik cukup dibutuhkan di dunia hukum, khususnya kepolisian dalam mengungkap kasus. Lembaga riset juga lapang untuk bidang ini.

Harapan besar Matanggaran adalah mengabdi di kampung halamannya Sulbar. Beroperasinya kantor Kepolisian Daerah (Polda) di sana menjadi peluang. Oganisasi alumni pendidikan luar negeri bernama Purna Caraka Indonesia juga sudah ada. Sehingga Matanggaran bisa dengan mudah menularkan kemampuannya menembus pendidikan di luar negeri ke generasi muda Sulbar.

Namun Matanggaran sadar tak mungkin mampu mengubah kondisi Sulbar tanpa campur tangan pemerintah. Dia pun berharap pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan generasi mudanya di Sulbar. Salah satu yang cukup penting adalah menyediakan sarana internet sebagai cara baru memperoleh informasi pendidikan. “Pemerintah harus membuka peluang bagi generasi muda untuk berkarya agar kerinduan untuk pulang selalu ada.” (TSM)

 

 



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Posting komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas